Satu pernyataan dari Thomas Janoski bermakna
bahwa kewarganegaraan adalah keanggotaan secara pasif dan aktif dari
seorang individu dalam sebuah negara-bangsa dengan hak-hak universal
tertentu dan kewajiban-kewajiban pada level yang spesifik dari
kesetaraan. Secara sederhana, kewarganegaraan dapat dianggap sebagai konsep dalam mengukur hak dan kewajiban.
Namun yang terjadi adalah pemahaman secara tidak penuh terhadap makna
kewarganegaran. Konsep ini dilihat semata-mata sebagai status. Status yang dimaksudkan terkait dengan metode-metode untuk menentukan siapa yang bisa menjadi warganegara.
Pemahaman secara tidak penuh terhadap makna
kewarganegaraan terlihat pada munculnya pernyataan dari Ketua Umum DPP
Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang mengatakan bahwa “menempatkan
pendidikan Pancasila hanya (sebagai) bagian dari pendidikan
kewarganegaraan merupakan bentuk pengerdilan Pancasila.” Pandangan serupa diungkapkan oleh Sudijarto, dari Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, yang mengatakan “Pendidikan Kewarganegaraan tidak akan mampu mentransformasikan nilai-nilai Pancasila. Ini
disebabkan silabus pendidikan kewarganegaraan lebih bersifat
teori-teori tentang kenegaraan dan hak asasi manusia yang diadopsi dari
negara lain”.
Pernyataan yang disebutkan oleh kedua tokoh
di atas menganggap bahwa kewarganegaraan dan Pancasila adalah dua hal
berbeda yang mempunyai substansi berbeda pula, padahal substansi antara
kewarganegaraan dan Pancasila tidaklah jauh berbeda. Intisari dari
kewarganegaraan adalah nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri.
Bagi negara Indonesia yang mempunyai penduduk
dengan pluralitas tinggi, Pancasila dibutuhkan sebagai dasar negara
yang berfungsi sebagai daya ikat serta dasar pemersatu bangsa dan
negara. Pancasila jelas merupakan seperangkat nilai. Nilai tersebut dapat ditemukan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa:
“suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”.
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa
merupakan hal yang penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan
keberagaman suku sehingga Pancasila dibutuhkan terkait dengan integrasi
nasional. Rintangan utama pada pembangunan integrasi
nasional adalah eksistensi dari etnis atau minoritas kultural dalam
sebuah negara yang menolak kecenderungan integrasi. Makna
rasa kesukuan bahkan menjadi lebih dramatis dalam masalah-masalah
integratif yang timbul di negara-negara dimana masyarakatnya memiliki
identitas etnis yang sangat kuat. Tegasnya,
peranan yang dimainkan oleh faktor kesukuan jangan dianggap kecil, baik
dalam kasus daerah-daerah yang memiliki identitas suku yang kuat maupun
di daerah-daerah dimana penduduknya merupakan campuran dari berbagai
suku. Dalam hal yang terakhir ini, sebagaimana
yang diperlihatkan oleh Liddle, etnisitas mungkin bercampur dengan dan
dikurangi oleh ikatan-ikatan primordial lain, akan tetapi rasa kesukuan
itu tidak sirna.
Negara menghadapi konflik-konflik internal
akibat meningkatnya semangat primordialisme; menyebarnya ideologi
etnonasionalisme dan lokalisme yang menguat. Kesetiaan primordial ini sifatnya kolektif terutama dalam penggunaan bahasa dan budaya serta sangat emosional.
Tidak perlu ada keberatan terhadap kesetiaan primordial selama ia tidak
menghasilkan ketegangan-ketegangan regional dan kultural, dan sepanjang
ia tidak bertentangan dengan kesetiaan nasional.
Dalam dinamika pluralisme Indonesia tersebut,
kewarganegaraan hadir dalam rangka pemersatu di antara perbedaan yang
ada dan untuk meningkatkan rasa nasionalisme terhadap negara Indonesia.
Sama halnya dengan Pancasila yang merupakan konsep dari bhinneka tunggal ika,
kewarganegaraan juga memperhatikan keberagaman budaya yang dapat
memotret pluralisme di Indonesia. Salah satunya adalah Will Kymlicka
yang mengemukakan teori mengenai Kewarganegaraan Multikultural yang
bersandar pada pandangan bahwa seorang warganegara selain merupakan
individu yang otonom, juga merupakan bagian dari kelompoknya.
Dengan konsepsi kewarganegaraan multikultur,
pendidikan kewarganegaraan mengenalkan kita pada prinsip keadilan yang
memperlakukan semua orang dengan sama. Hal ini ditekankan oleh Thomas
Janoski yang menyatakan bahwa kewarganegaraan adalah sebuah pernyataan
dari persamaan hak, dengan hak-hak dan kewajiban yang seimbang dalam
batasan-batasan tertentu. Persamaan dalam hal
ini mungkin tidak sempurna, tetapi hal tersebut paling memerlukan
peningkatan hak-hak minoritas dalam berhadapan dengan elit-elit sosial. Persamaan ini sebagian besar bersifat prosedural, tetapi juga dapat termasuk hal-hal yang substantif.
Dengan adanya persamaan, maka prinsip keadilan bagi seluruh kaum
termasuk kaum minoritas dijamin dalam kerangka kewarganegaraan
multikultural.
Dalam usaha untuk mewujudkan prinsip
persamaan, keadilan, dan keterwakilan, teori kewarganegaraan
multikultural Kymlicka membedakan hak-hak minoritas bagi kelompok etnis,
yaitu hak-hak pemerintahan sendiri, hak-hak polyetnik, dan hak-hak
perwakilan khusus. Terkhusus hak-hak polyetnik,
dimaksudkan untuk membantu kelompok etnis dan minoritas agama untuk
menyatakan kekhasan budayanya dan harga diri tanpa menghalangi
keberhasilan mereka dalam lembaga ekonomi dan politik dari masyarakat
dominan. Ketiga bentuk kewargaan kelompok yang dibedakan dapat digunakan untuk memberikan perlindungan eksternal.
Caranya adalah, setiap bentuk membantu melindungi minoritas dari
kekuasaan ekonomi dan politik masyarakat yang lebih luas, walau
masing-masing menjawab pada tekanan eksternal yang berbeda dalam cara
yang berbeda, yaitu:
1. Hak
perwakilan kelompok khusus di dalam lembaga politik masyarakat yang
lebih luas menjadikan kecil kemungkinan bahwa minoritas bangsa atau
etnis akan diabaikan dalam keputusan yang dibuat berbasiskan seluruh
negeri.
2. Hak
atas pemerintahan sendiri mengalihkan kekuasaan ke unit politik yang
lebih kecil sehingga minoritas bangsa tidak dapat dikalahkan dalam
pemilihan atau dalam tawar-menawar oleh mayoritas berkenaan dengan
keputusan yang sangat penting bagi kebudayaannya.
3. Hak
polietnis melindungi praktik-praktik agama dan budaya yang khas, yang
mungkin tidak didukung secara layak melalui pasar atau yang dirugikan
oleh perundangan yang ada.
Akomodasi dari
perbedaan-perbedaan ini adalah inti dari kesetaraan yang sebenarnya, dan
hak-hak khusus kelompok tersebut diperlukan untuk mengakomodasi
perbedaan-perbedaan yang ada. Walau hak-hak
kelompok yang dibedakan untuk minoritas bangsa mungkin secara sekilas
tampak mendiskriminasi, hak-hak itu sebenarnya konsisten dengan
prinsip-prinsip mengenai kesetaraan. Jika bukan
karena hak-hak kelompok yang dibedakan itu, para anggota kebudayaan
minoritas tidak akan mempunyai kemampuan yang sama untuk hidup dan
bekerja dalam bahasa dan kebudayaan sendiri yang dianggap lumrah bagi
para anggota dari kebudayaan mayoritas.
Dengan pandangan demikian,
maka intisari yang dapat diambil dari pembahasan tersebut adalah bahwa
di dalam kewarganegaraan juga terdapat nilai-nilai yang ada di dalam
Pancasila sehingga dengan menetapkan Pancasila sebagai bagian dari
kewarganegaraan tidaklah mengerdilkan Pancasila itu sendiri. Kemudian,
berbeda dengan pendapat yang diungkapkan oleh Sudijarto di awal tadi
bahwa pendidikan kewarganegaraan tidak akan mampu mentransformasikan
nilai-nilai Pancasila, menurut saya kewarganegaraan justru dapat
mentransformasikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dalam bahasa
yang berbeda. Apabila dirangkum mengenai persamaan nilai yang dapat
diambil dari substansi antara Pancasila dengan kewarganegaraan, maka
dapat dirumuskan menjadi 2 hal yang utama:
1. Seperti
halnya kewarganegaraan, Pancasila menghindari otoritarianisme negara,
dan usaha mengembangkan pluralisme sebagai ciri permanen dari kebudayaan
yang demokratis di Indonesia. Pancasila tidak
membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa.
Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada struktur dasar
masyarakat dari kehidupan bernegara, sementara keyakinan atau nilai lain
yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada
asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan
harus dihormati perkembangannya oleh negara.
Hal ini sejalan dengan kewarganegaraan yang melindungi hak dan kebebasan
dari warganegara, terutama dalam konsepkewarganegaraan multikultural
maupun konsep tripartite Marshall atas hak sipil, politik,
dan sosial yang biasanya diambil sebagai langkah awal untuk segala hal
yang berkaitan dengan hak-hak kewarganegaraan.
2. Pancasila
dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik
dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara. Gagasan
fundamental Pancasila mengenai kebebasan, hak-hak sipil dan politik
dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut
dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum
juga dijamin dalam konsep-konsep kewarganegaraan sehingga poin kedua
ini menegaskan bahwa substansi Pancasila dan kewarganegaraan adalah sama
namun dalam bahasa yang berbeda.
http://politik.kompasiana.com/2012/01/16/kewarganegaraan-dan-pancasila-nama-yang-berbeda-untuk-substansi-yang-sama-431041.html
Mantabs... .
BalasHapus